Wariskan Harta Atau Sengketa (Narasumber: Irma Devita)

Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat (Waris Barat)

Ratings 4.72 / 5.00
Wariskan Harta Atau Sengketa (Narasumber: Irma Devita)

What You Will Learn!

  • Hukum di Indonesia secara Perdata

Description

Sistem kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk memudahkan, kita sebut "Waris Barat"saja) terutama berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama selain Islam atau bagi yang beragama Islam, tetapi "menundukkan" diri ke dalam hukum pewarisan Perdata Barat. Dari tiga sistem kewarisan yang berlaku: Waris Barat, Waris Adat, dan Waris Islam, yang paling sering dihadapi oleh praktisi notaris adalah sistem Waris Barat karena notaris hanya berwenang membuat Surat Keterangan Waris untuk golongan penduduk keturunan Tionghoa saja. Untuk WNI pribumi, kewenangannya ada pada lurah hingga camat atau Pengadilan Agama (jika ada sengketa), sedangkan untuk keturunan Timur Asing (India, Pakistan, dan lain-lain) dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Sedangkan perkara pembagian waris menurut Hukum Waris Islam ditangani oleh Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris.


Konsep Dasar Kewarisan Barat

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita sebut "KUHPerdata" saja), prinsip pewarisan adalah:

1. Harta Waris Baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadi suatu kematian (Pasal 830 BW).

2. Adanya hubungan darah antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri pewaris (Pasal 832 BW) dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, apabila mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami atau istri tersebut bukan merupakan ahli waris pewaris.


Sebagai konsekuensi dari kedua hal tersebut, dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia belum dapat dikatakan sudah mewariskan apapaun kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hal terjadi suatu pemberian suatu barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunan tersebut dapat memiliki hak atas barang tadi setelah dia meninggal dunia (misalnya dalam bentuk hibah), maka hal ini dianggap sebagai "hibah wasiat". Selanjutnya, barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah itu telah meninggal dunia. Dalam hal barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberi imbalan berupa uang, maka hal ini disebut "hibah" saja.

Who Should Attend!

  • Mahasiswa Hukum
  • Praktisi Hukum
  • Umum

TAKE THIS COURSE

Tags

  • Law

Subscribers

62

Lectures

12

TAKE THIS COURSE



Related Courses